Monday, October 9, 2017

Trekking dan Wisata Sejarah : Bedono - Ambarawa



Meskipun hari masih pagi, baju saya sudah basah keringat. Minggu pagi ini, saya baru saja turun dari sesaknya bis bumel ekonomi jurusan Semarang – Jogjakarta. Naik dari Ambarawa, saya turun di Bedono, tepat di gang masuk menuju Stasiun Bedono. Pagi ini saya hendak mengikuti salah satu kegiatan wisata sejarah perkeretaapian yang diadakan oleh sebuah komunitas dari Magelang.

Bedono, merupakan salah satu wilayah di ujung selatan Kabupaten Semarang. Lokasinya berbatasan dengan Pringsurat, Kabupaten Temanggung dan juga Grabag, Kabupaten Magelang.

Stasiun Bedono adalah salah satu stasiun kuno yang hingga kini masih terawat. PT KAI tampaknya memang serius dalam rangka memelihara bangunan-bangunan yang bersejarah dan telah terdaftar sebagai Benda Cagar Budaya (BCB). Meskipun kecil, stasiun ini memiliki fasilitas yang komplit diantaranya rumah dinas, menara air untuk suplai air pada lokomotif uap, gudang, toilet terpisah, dan turn-table, tempat berputarnya lokomotif.
Stasiun Bedono, sumber : jejakbocahilang.wordpress.com

Emplasement stasiun masih terbilang asli dengan tegel tahu kotak warna kuning yang didatangkan langsung dari Belanda. Sementara itu ruang tunggu penumpang sangat lega dengan beberapa kursi kayu panjang sebagai kursi tunggu.

Bagus Priyana, koordinator panitia menyambut kami yang datang dari berbagai daerah dalam kegiatan ini. Di selasar Stasiun Bedono, ia memaparkan sejarah singkat dari jalur kereta yang melintas di Kabupaten Semarang tersebut.

“Jalur ini dibangun pada akhir tahun 1800an untuk menghubungkan Ambarawa, dahulu dikenal dengan nama Willem I dengan Yogyakarta via Magelang... “ buka Bagus Priyana.

Operasional jalur ini akhirnya terpaksa ditutup pada tahun 1971 imbas dari sepinya penumpang dan menjamurnya angkutan transportasi lain seperti mobil pribadi dan bus yang dianggap lebih efektif dan lebih cepat sampai.

**
Menyusuri Rel Kereta

Kurang lebih pukul delapan pagi, kami yang kira-kira terdiri dari seratusan peserta memulai trekking jalur dari Stasiun Bedono menuju Stasiun Ambarawa. Salah satu keunikan dari jalur kereta api non-aktif ini merupakan adanya rel bergerigi yang didesain untuk memungkinkan lokomotif menanjak ataupun menurun dengan elevasi diatas 6 %. Di Indonesia sendiri, rel bergerigi hanya ada dua yaitu di jalur Bedono – Ambarawa dan di Sawahlunto, Sumatera Barat.

Kami menyusuri rel kereta ini bukan tanpa ijin karena panitia telah mengantongi ijin tertulis dari PT KAI pusat dan malah salah satu dari peserta adalah merupakan pegawai aktif di PT KAI. Adhitiya Hatmawan, namanya. Dalam bincang-bincang kami, terungkap bahwa jalur kereta wisata yang selama ini melayani rute Ambarawa – Bedono PP dengan kereta uap, sementara ditutup untuk pemeliharaan jalur, sehingga kegiatan kami saat ini adalah sangat-sangat aman. Tanpa takut tertabrak kereta lewat. Hehe..
Sebagian peserta trekking

Panorama yang hijau, perkebunan kopi, hamparan sawah dan pemandangan perbukitan menjadi menu utama sepanjang perjalanan kami. Ditambah lagi kelak-kelok rel kereta api ini sejenak membius kami mengingat kenangan akan kejayaan kereta api waktu itu.
Rel kereta api di samping jalan raya Magelang - Ambarawa. Sumber : jejakbocahilang.wordpress.com

Dalam sebuah surat kabar masa kolonial, misalnya, diceritakan seorang pengelana yang sangat terpesona akan keindahan jalur kereta dari Ambarawa menuju Yogyakarta yang saat itu harus ditempuh dalam waktu lebih dari setengah hari menggunakan kereta uap. Diceritakan bahwa pemandangan saat itu sungguh sangat hijau dan sedap dipandang mata.
Jalur yang terancam ambles di daerah Klurahan, Jambu

Namun kini jalur ini merana karena lama tidak terpakai. Sepanjang perjalanan kami hanya menjumpai beberapa penduduk lokal memanfaatkan jalur gerigi ini sebagai jalur untuk lori sederhana yang berfungsi sebagai pengangkut rumput atau kayu. Beberapa kali jalur ini bersinggungan dengan jalan raya Magelang – Semarang sehingga pemandangannya sangat-sangat ciamik.
Seorang warga menggunakan lori

Setengah perjalanan, kami sampai di Stasiun Jambu. Stasiun / halte Jambu ini merupakan stasiun kecil sebagai tempat pemberhentian rangkaian kereta dan pengubah posisi lokomotif sebelum menanjak menuju Bedono, jika dari Ambarawa. Secara ringkas jika lokomotif dari Ambarawa menarik gerbong, maka di Stasiun Bedono konfigurasi diubah lokomotif menjadi berada paling belakang dan mendorong gerbong. Hal ini diperlukan agar rangkaian kereta bisa menanjak melalui rel gerigi dan supaya gerbong tidak melorot.

**
Menuju Ambarawa
Beruntung, rasa lelah dan haus yang mendera bisa segera diobati di tempat peristirahatan pertama ini karena panitia telah menyediakan kudapan ringan dan buah segar. Perjalananpun dilanjutkan meskipun kaki sudah ingin beristirahat.

Sepanjang rute Jambu hingga Ambarawa, rel-rel terlihat lebih jelas dibandingkan jalur dari Bedono. Bantalan-bantalan dari kayu jati tampak banyak yang masih kokoh meski sudah digunakan lebih dari satu abad. Begitu juga jembatan-jembatan kecil yang melintas diatas sungai atau parit-parit kecil, masih sangat kokoh.
Salah satu jembatan di jalur Jambu - Ambarawa

Dari pengamatan saya, rel rel tersebut dibuat rata – rata pada tahun 1902 dan 1903 atas pesanan NIS (Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij), dan sebagian lagi pesanan S.S (Staats Spoorwegen). Malahan, salah satu yang tertua yang berhasil saya temukan adalah tertanggal tahun 1894!

**
Etape terakhir menuju Ambarawa merupakan tantangan tersendiri karena cuaca yang sangat terik. Ditambah lagi, suasana pegunungan dan rimbunnya pepohonan mulai jarang ditemui di jalur ini. Sebagian besar adalah perlintasan di persawahan warga, yang darisana bisa kita lihat danau Rawa Pening di kejauhan.

Akhirnya setelah hanya tiga setengah jam kami berjalan kaki, kami sampai di Stasiun Ambarawa.
Salah satu sudut Museum KA Ambarawa

Dahulu, setelah beberapa tahun Semarang terhubung ke Jogja melalui Solo, maka di Ambarawa yang dikonsep sebagai kota militer, juga dibangun stasiun besar bernama Willem I yang fungsi utamanya untuk mobilitas militer baik menuju ke Semarang maupun menuju Magelang. Bangunan apik yang kini kompleksnya menjadi Museum Kereta Api Ambarawa tersebut tercatat dibangun pada tanggal 21 Mei 1873.

**
Kegiatan trekking jalur kereta api bersejarah ini, bila dikemas dengan baik sebenarnya berpotensi sebagai salah satu wisata minat khusus yang sangat menarik. Terlebih lagi, hingga hari ini banyak orang yang tertarik dengan perkeretaapian Indonesia dan tergabung dalam wadah Indonesian Railways Preservation Society (IRPS). Selain itu, komunitas-komunitas sejarah juga banyak yang tertarik dengan kegiatan seperti ini. Tidak dapat disangkal, di Kabupaten Semarang bagian selatan ini memiliki daya tarik wisata olahraga trekking sekaligus wisata heritage yang menunggu untuk diramaikan. 




6 comments:

  1. wah menarik banget nih tripnya..terima kasih yaaa artikelnya..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sama-sama. Komunitas yang mengadakan kegiatan ini memang selalu menarik kegiatannya. Saya sebagai penggembira saja jadi bisa ikut bergembira :D

      Delete
  2. Baru nyampe stasiun KA Ambarawa. Bedono belum. Asik ya bisa menyusuri jalur kereta api banyak hal menarik yang didapat sepanjang perjalanan.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iyap betul banget. Yang penting kalau mau trekking jangan sendirian. Hehehe

      Delete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...